Istighashah Ada Dalilnya?

Abu Anas - Cipinang Jakarta

Assalamualaikum wr wb,

Ustadz, apakah kegiatan istighashah seperti yang baru saja di laksanakan di SUrabaya oleh saudara saudara kita ada dalil atau hujjahnya? Mohon penjelasan disertai dalil dan hujjahnya.

Wassalam

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Kalau yang ditanyakan apakah ada bentuk ritual khusus yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat atau diperintahkan, tentu saja jawabnya tidak ada. Apalagi bila bentuknya merupakan sebuah perhelatan besar yang melibatkan sejumlah besar massa di suatu lapangan terntentu.

Sehingga aktifitas seperti ini tidak bisa dimasukkan ke dalam bentuk ibadah ritual keagamaan yang formal. Posisinya mirip dengan acara halal bi halal yang biasa digelar setiap idul fithri. Meski perintah untuk merayakan idul fithri itu jelas ada, namun bentuk formal sebiah ritual halal bi halal tidaklah berasal dari contoh dari Rasulullah SAW.

Begitu juga dengan istighotsah. Perintah secara umum untuk berdoa dan munajat kepada Allah jelas dalilnya, tapi kalau bentuknya menjadi sebuah ritual formal sedemikian rupa, jelas tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena itulah kita tidak bisa memasukkan agenda istighotas sebagai agenda yang bersifat ritual atau ibadah mahdhoh. Karena memang tidak ada juklak dari Rasulullah SAW.

Tapi bolehkah melakukan isitghotsah? Jawabannya dikembalikan kepada niat dan tujuannya serta kondisi sosial yang berkembang. Para ulama perlu memperhatikan, apakah dengan dibudayakannya akfitas ini tidak akan memberikan salah tafsir kepada awam bahwa hal itu merupakan bentuk ritual yang wajib hukumnya? Bila memang ada kekhawatiran seperti itu, maka yang paling bijaksana adalah menempuh langkah “saddan lizzari‘ah”, yakni upaya pencegahan dini. Meski secara langsung tidak ada nilai negatifnya bahkan terkesan positif, tapi wa‘yu dan pemahaman umat atas ajaran Islam ini lebih penting.

Karena itu, konon, Umar bin Al-Khattab menebang pohon rindang yang bersejarah tempat pernah dilaksanakannya bai‘atur ridwan. Awalnya, para shahabat sering berteduh di bawah pohon itu, namun lama-lama ada gejala yang kurang baik sehingga inisiatif Umar adalah cegah sebelum parah. Memang sayang sekali pohon yang bersejarah itu tumbang, tapi lebih sayang lagi adalah aqidak umat ini.

Dalam era semangat keislaman dewasa ini, ada juga contoh yang mirip, yaitu trend melakukan malam muhasabah di malam tahun baru masehi. Meski sekilas sangat positif dan punya alasan yang sangat bagus, yaitu menggiring generasi muda dari jalanan, pesta dan kebut-kebutan ke dalam masjid untuk berzikir, berdoa, mengaji dan menangis menyesali dosa-dosa mereka.

Namun ketika kegiatan ini menjadi trend dan merebak kemana-mana, muncul kekhawatiran bahwa kegiatan ini bisa menjadi sebuah ritual baru yang pada generasi entah kapan, bisa saja disalahtafsirkan.

Sehingga para ulama kemudian memfatwakan agar kegiatan ini dilakukan sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Karena berdoa dan muhasabah tidak harus dilakukan secara berjamaah di masjid, juga tidak ada sunnah untuk melakukannya di malam tahun baru.

Akhirnya tren itu mereda.

Wallahu A‘lam Bish-Showab,






Read More......

Makna Da'wah
Oleh Musyaffa Ahmad Rahim

Di tengah-tengah masyarakat, kata da'wah lebih sering diidentikkan dengan ceramah. Padahal, ceramah hanyalah bagian kecil dari da'wah, sebab, kita semua tahu bahwa semenjak usia 40 tahun sampai kembali kepada Allah, keseluruhan hidup Rasulullah saw adalah untuk da'wah. Namun, jika seluruh ceramah-ceramah Rasulullah saw kita kumpulkan, pastilah tidak akan sampai berjilid-jilid, paling-paling satu jilid sedang saja. Oleh karena itu, kita perlu menengok kembali apa makna da'wah itu?

Dalam bahasa kita, bisa diartikan:
-Mencenderungkan.
-Mencondongkan.
-Membuat tertarik.
-Membuat terpancing, atau semacamnya.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam berda'wah; diantaranya:

1.Secara bahasa, bila ada seekor ayam lewat dihadapan kita, lalu kita berusaha memancing perhatiannya agar menoleh kepada kita, lalu kita katakan: kuuur ... kuuur ..., maka, sekali lagi, secara bahasa, kita bisa dikatakan menda'wahi ayam itu. Beda lagi kalau yang hendak kita pancing perhatiannya itu adalah seekor kucing, maka untuk menda'wahinya kita tidak mengatakan kuuur ... kuuur ..., akan tetapi kita katakan: pus ... pus ... pus. Ini mengajarkan kepada kita bahwa, perbedaan "obyek" da'wah mengharuskan adanya perbedaan cara dan metode da'wah yang kita pakai. Menda'wahi mahasiswa berbeda dengan menda'wahi dosen. Berda'wah di kalangan birokrat berbeda dengan da'wah di tengah-tengah masyarakat, dan seterusnya.

2.Sebagai seorang da'i, kita harus aktif, selalu sebagai pihak yang berinisiatif, dan bahkan pro aktif. Ingat kata-kata Ibnu Faris: engkau berusaha membuat mail ... Sikap pasif dalam berda'wah tidaklah dibenarkan. Bahkan, dalam tinjauan dakwah, sikap reaktif-pun (dalam arti, setelah ada aksi dari orang lain, kita sebagai da'i baru mengambil sikap), tidaklah dibenarkan, meskipun harmoni da'wah terkadang menuntut kita untuk melakukan sikap reaktif.

3.Yang menjadi incaran para da'i adalah bagaimana "obyek" dakwah itu tertarik, terpancing perhatiannya, cenderung dan condong kepada sang da'i. Ini berarti pula bahwa sang da'i harus:

i.Memiliki daya tarik yang membuat "obyek" da'wah cenderung kepadanya, apa saja hal-hal yang menarik itu (tentunya dengan syarat tidak bertentangan dengan syari'at Islam), mulai dari komitmen diri, shidq (benar), penampilan, tutur tata, metodologi, gaya bicara, ilustrasi, cara pemaparan informasi dan pengetahuan, dan ... (singkatnya) segala nilai plus yang mungkin kita memiliki, sebab, "gara-gara" nilai plus (positif) yang dimilikinya, proton berhasil membuat elektron selalu berada di dekatnya, bahkan ber-thawaf (atau istilah da'wahnya: yaltaffuuna haulana) secara terus menerus, sebagaimana thawafnya manusia di sekeliling Ka'bah. Atau dalam bahasa fisika yang lain bisa kita katakan: dengan nilai plus itulah kita akan menjadi magnit yang menyebabkan segala unsur yang sangat berdaya guna (seperti biji-biji besi) selalu menempel kepadanya.

ii.Mengetahui pintu-pintu dan celah-celah hati, kejiwaan, dan kecenderungan "obyek" da'wah, agar bisa dengan mudah dan efektif dalam memikat dan menarik perhatian "obyek" da'wahnya itu. Tentunya hal ini menuntut adanya pengetahuan sang da'i secara mendalam tentang keseluruhan pribadi "obyek" da'wah itu.

Karena inilah barangkali (wallahu a'lam), salah seorang da'i abad 20 ini menulis buku dengan judul: ad-da'watu ilallah hubbun (da'wah kepada Allah itu cinta), dan ath-thariiq ilal qulub (jalan masuk menuju hati), yaitu Syekh Abbas-As-Sisi.

Berikut ini adalah dua contoh dari apa yang telah kami sebutkan di muka:

1.Pada sekitar tahun 11 dari kenabian Muhammad saw, dan setelah ada beberapa orang Yatsrib (sekarang Madinah) memeluk Islam, Rasulullah saw mengutus Mush'ab bin 'Umair Radhiyallahu 'anhu sebagai muqri' (guru dan da'i) ke Yatsrib, untuk mendidik para muslim baru dan menda'wahi masyarakat yang belum memeluk Islam. Mush'ab bin 'Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang sangat lembut tutur katanya, atau istilahnya hulwal kalam (omongannya manis). Pernah suatu kali ia kedatangan Usaid bin Khudhair (waktu itu masih musyrik) yang bermaksud mengusirnya dari Yatsrib. Namun dengan kelembutan tutur katanya, dan dengan kebaikan perangainya, ditambah dengan keindahan bacaan Al Qur'annya, Mush'ab bin 'Umair berhasil "menundukkan" dan melunakkan hati Usaid bin Khudhair, sehingga memeluk Islam. Begitu juga saat bertemu dengan S'ad bin Mu'adz (waktu itu masih musyrik). Semoga Allah meridhai mereka semua, amiin.

2.Pada suatu kali Hasan Al Banna diundang oleh murid-muridnya untuk menjadi penceramah acara tabligh akbar di sebuah daerah yang didominasi oleh tokoh-tokoh tarekat (tsawuf). Para tokoh terakat dan murid-muridnya telah menyusun sebuah rencana untuk menggagalkan acara tabligh akbar tersebut atau mengacaukannya. Mereka semua berkumpul untuk mematangkan rencana tersebut. Tiba-tiba mereka mendengar suara pintu terketuk dengan suara salamnya yang lembut. Mereka bertanya: "Siapa?". Si pengetuk menjawab: "Hasan". Kata mereka: "Hasan siapa?". Si pengetuk menjawab: "Hasan Al Banna". Mereka kaget dan terkejut, lalu mempersilahkan Hasan Al Banna masuk. Setelah berada di tengah mereka, Hasan Al Banna berkata: "Kami datang ke sini untuk meminta izin dari para syekh di sini. Hari ini saya diundang oleh anak-anak muda untuk menyampaikan ceramah kepada mereka. Namun karena daerah ini adalah wilayah para syekh, maka saya meminta izin kepada para syekh di sini, bila diijinkan, saya akan berceramah di hadapan mereka, bila tidak, maka hal ini menjadi hak para syekh di sini". Mendengar dan melihat sikap baik Hasan Al Banna seperti ini, maka majlis syuyukh (para syekh) yang tadinya berkumpul untuk membuat konspirasi itu, akhirnya bersepakat untuk mempersilahkan Hasan Al Banna menyampaikan ceramahnya di hadapan para pemuda, bahkan para syekh memobilisasi para muridnya untuk ikut serta mendengarkan ceramah Hasan Al Banna, semoga Allah merahmatinya, amiiin.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah swt …


Read More......

Pemuda adalah Unsur Pengubah yang paling bisa diandalkan..

Saya selalu merasa sangat bergembira kalau bertemu dan harus berbicara di hadapan para pemuda. Ini semua menandakan bahwa pemuda tetap bersemangat dan serius, karena setiap gerakan yang berhasil pasti memiliki kemauan yang kuat, harapan yang jauh ke depan, dan orientasi yang jelas serta terarah terutama di basis pemudanya.
@Wala tahinu, watarjuna minalloh maala yarjuna (4:104)
Walaupun kadang-kadang gerakan pemuda kepentok masalah klasik kekurangan dana, misalnya. Hal itu biasa dan terjadi di mana-mana, di setiap waktu dan tempat, bukan hanya di Indonesia dan di masa sekarang saja. Meskipun tidak mempunyai materi berlimpah, semua pergerakan disusun, dirancang, dan dilaksanakan oleh pemuda. Pemuda aktivis boleh miskin materi, tetapi jiwanya kaya, sehingga pantang menyerah dan mengeluh. Mereka tidak mengorbankan iffah, kehormatan diri, hanya untuk meminta-minta, karena pemuda perintis dan pelopor pergerakan yang berhasil adalah mereka yang bermental baja.
Wain
Kekuatan moral dan spiritual menjadi modal utama dan pertama dalam setiap pergerakan. Mungkin saja landasan moral dan spiritual sebuah pergerakan salah atau bathil, tetapi pasti punya semangat. Apatah lagi kita yang mempunyai landasan moral dan spiritual yang benar, bersumber dari petunjuk Allah Ta’ala. Kekuatan moral dan spiritual yang benar akan menghasilkan azam dan iradah qawiyah. Bahkan, orang akan menjadi muda selamanya dan bergairah terus, jika bergerak atas landasan moral dan spiritual yang benar. Alhamdulillah, kita telah diberikan karunia itu oleh Yang Mahakuasa.
#Ajiba robbuka min syaabbin la shobwatala# (Allah kagum akan seorang pemuda yang tidak terjerumus dalam kenakalan ( HR akhmad dan Tabrani)
Modal kedua ialah kemampuan intelektual. Allah sangat merangsang manusia melalui ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan: ‘afala ta’qilun, ‘afala yatafakkarun, dan lain-lain. Menurut penelitian, otak manusia yang terpakai hanya 5% dari volume otak yang sebenarnya.
Modal ketiga adalah ideologi atau idealisme yang dengannya kita mempunya visi dan misi perjuangan yang jelas. Ini juga merupakan karunia Allah kepada kita berupa pemikiran yang paripurna, bisa memiliki pandangan jauh ke depan, walaupun pada masa-masa sulit. Kita selalu menjadi barisan pelopor dan perintis dalam kejelasan ideologi.

Modal keempat adalah manhaj atau metodologi. Allah tidak hanya memberikan perintah saja, melainkan juga konsepsi dan landasan operasional. Shalat dan haji memang diperintahkan oleh Allah, tetapi dalam pelaksanaannya Allah mencontohkan melalui tindakan Rasulullah. Dalam berjuang dan berjihad pun harus mengikuti Rasul, tidak membeo, tapi memahami dan mengerti maksudnya. Qudwah kepada Rasul merupakan kebutuhan, bukan hanya sekadar kewajiban, karena tanpa Rasul, maka ajaran Islam tak bisa jalan. Rasulullah-lah yang mencontohkan kepada kita, bagaimana dakwah yang jelas, terarah dan sistemik.

Modal kelima adalah kefitrahan. Dinul Islam itulah modal besar, karena sesuai dengan fitrah manusia, tidak berbenturan dengan kultur manusia, binatang, dan ekosistem. Bahkan, Allah menegaskan bahwa semua makhluk itu adalah junud (tentara) Allah. Artinya, kita harus yakin bahwa pergerakan yang bertentangan dengan fitrah manusia adalah bertentangan dengan kehendak Allah, karena semuanya bergerak dalam nuansa dan irama yang sama. Semuanya bertasbih kepada Allah. Jika perjuangan Islam kompak dengan perjuangan alam (universe), maka perjuangan itu akan berhasil. Pohon dan tetumbuhan, binatang, cuaca, gejala alam semuanya menjadi teman-teman perjuangan kita.

Modal keenam adalah modal institusional. Kerja kita adalah kerja jama’ah yang banyak orang tidak melakukannya. Kita memperoleh banyak dukungan dari proses jama’i ini, seperti thawashau bil haq dan thawashau bis shobri. Itu hanya bisa dilakukan dengan jamaah, karena saling mengingatkan itu diperlukan dalam gerakan agar tidak tergelincir. Ba’duhum awliya’u ba’din. Kritik dan peringatan itu perlu.
Itu semua hanya bisa dilakukan dalam proses institusionalisasi, ketika tantangan dakwah berat dan sulit. Ada tawashau bil haq wa bis shobri, sehingga menimbulkan daya tahan (QS Ali Imran: 157). Wa ma dla’ufu wa ma istakanu (mereka tidak lemah dan tidak menyerah). Juga dilengkapi dengan tawashau bil marhamah. Tatkala seseorang mendapat musibah dan menderita, maka orang tersebut tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan banyak orang, sehingga potensinya tidak terpuruk.

Modal ketujuh bersifat material. Sebenarnya Allah telah banyak memberikan modal material kepada kita berupa alam semesta beserta segala isinya, tetapi mungkin kita belum bisa mendayagunakannya. Bahkan, dalam al Qur’an surat al Hajj ayat 31, Allah berfirman: “Telah Aku datangkan segala apa yang kamu butuhkan, wa in ta’uddu ni’matallah laa tuhsuha”. Karena kezaliman dan ketidakproporsionalan sikap kita, sehingga tidak memiliki daya inovatif dan kreatif untuk memanfaatkannya. Menyadari dan mensyukuri nikmat Allah itu penting. Bagaimana nikmatnya udara, sehari kurang lebih 350 kilogram kita memakai oksigen untuk tubuh kita, seperlima diantaranya dipakai oleh otak.
Kampus dan sekolah itu pada dasarnya adalah milik umat. Sesudah itu, dakwah dalam amal thullabi dilanjutkan dengan amal mihani (dakwah profesi). Seyogyanya memang amal thullabi dan amal mihani itu disinergikan, karena mengarahkan kemampuan profesional harus dimulai sejak masa sekolah.
Demikianlah kenapa pemuda Islam memerlukan Tarbiyah yang akan menjadi garda terdepan dalam kebangkitan umat Islam Amin.

Read More......
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com